Sering kali kita keluhkan tidak adanya waskat (pengawasan melekat) antara sesama pemuda ketika gejala-gejala penyakit ini muncul (maksudnya penyakit melemahnya gairah beramal). Berapa banyak orang yang bertekad untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, namun sangat sedikit yang mau peduli dengan kesungguhannya itu. Kontrol dan suntikan motivasi ini sangat urgen, sebab seorang pemuda biasanya memiliki masa lalu yang selalu diingatnya. Jika terbayang kembali masa lalunya itu, setan akan segera menggodanya untuk kembali seperti yang dulu. Kemudian datanglah bala tentara setan yang diperankan manusia-manusia iblis, menakut-nakutinya dengan bayangan masa lalunya itu. Bahkan terkadang mengancamnya bila ia tidak seperti yang dulu, mereka akan membongkar boroknya di hadapan orang banyak! Pada saat-saat seperti itu, ia tidak menemukan orang shalih dan istiqamah yang memberikan motivasi kepadanya. Sehingga ia terpengaruh bisikan bala tentara iblis tadi, akhirnya ia kembali kepada masa lalunya yang kelam.
Kadang kala mereka menyeretnya ke dalam kemu-nafikan, dengan membisikkan ke telinganya: "Tetaplah engkau seperti ini secara lahir. Dan secara batin engkau dengan perbuatanmu seperti itu sehingga engkau pasti bersama orang-orang jahat juga nantinya!"
Seringkali kita temui cara yang kurang tepat, yaitu nasihat pertama yang kita sampaikan kepada mereka adalah: "Hati-hati dengan si 'Fulan', jangan sekali-kali kamu mendekatinya! Menurut pandangan saya, cara seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan secara tidak disadari kita telah membantu setan untuk menyesatkan si 'Fulan' itu. Jarang sekali kita temui nasihat yang berbunyi: "Wahai saudaraku, hendaklah engkau menemani si Fulan dan membimbingnya."
Seorang teman saya pada suatu hari mengadu bahwa ia baru saja keluar dari penjara, dan ia telah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan tegas ia katakan: "Apakah ada seorang teman yang shalih yang sudi membimbingku? Apakah ada pendamping yang shalih yang bersedia duduk bersamaku? Saya menjawab: "Tentu saja ada!" Namun dengan memelas ia berkata: "Akan tetapi mereka semuanya menjauh dariku!"
Jika kita biarkan dia begitu saja, berarti kita mem-biarkan dia menjadi mangsa setan dan menjadi bala tentaranya. Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala menyukai orang-orang yang bertaubat, mengapakah kita tidak menyukai mereka? Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
"Demi Allah, sesungguhnya Allah sangat senang dengan taubat hamba-Nya melebihi senangnya sese-orang di antara kamu yang menemukan kembali ontanya yang hilang di padang luas." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu)
Jika kita memang menyukai orang-orang yang bertau-bat, mengapakah kita tidak membimbing mereka kepada jalan kebenaran dan hidayah serta ketaatan? Sudah selayaknya kita menuntun mereka untuk berbuat taat.
Tentunya kita semua pernah mendengar kisah seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, kemudian bertanya di manakah orang yang paling alim di muka bumi? Ia pun ditunjukkan kepada seorang rahib (pendeta). Ia pun bertanya kepada pendeta itu, apakah masih terbuka pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa? Pendeta itu menjawab: "Tidak!" Maka ia pun membunuh pendeta itu sehingga genaplah seratus jiwa yang telah dibunuhnya. Lalu ia bertanya lagi, di manakah orang yang paling alim di muka bumi? Ia pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia bertanya kepada ulama itu, apakah masih terbuka pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh seratus jiwa? Ulama itu menjawab: "Ya, siapakah yang menghalangimu dari pintu taubat?" Ulama itu telah memberikan lampu hijau kepadanya untuk menorehkan lembaran baru dalam hidupnya. Ulama itu berkata: "Pergilah engkau ke negeri A, di sana terdapat orang-orang shalih yang senantiasa mengesakan Allah shallallahu 'alaihi wasallam dalam beribadah, ikutilah mereka!" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sekiranya orang itu menolak pergi ke negeri A tersebut, maka tidak ada pilihan baginya kecuali kembali kepada lingkungannya yang rusak. Namun takdir Allah shallallahu 'alaihi wasallam menentukan lain, orang itu mati di tengah perjalanan menuju ke sana.
Oleh sebab itu wahai saudaraku, apabila datang seorang yang benar-benar ingin bertaubat, hendaklah kita bergembira dengan taubatnya itu. Namun masih saja ada yang mencibir: "Taubatnya belum seratus persen!" Kepada mereka saya katakan: "Wahai saudara-ku, barangkali ia masih khawatir atau takut kepada sebagian orang!" Atau masih saja ada yang mencemooh: "Ia baru kemarin meninggalkan alam maksiat, aku khawatir ia masih menyimpan sesuatu!" Dan masih ba-nyak lagi komentar-komentar lainnya, seperti: "Jangan-jangan ia nanti mengambil hartaku lalu minggat!" Apakah ini yang kau inginkan?!
Sikap seperti itu bersumber dari piciknya pan-dangan. Yaitu ketika pertama kali engkau berkenalan dengan seseorang langsung saja engkau tumpahkan segala uneg-unegmu kepadanya. Tahan dulu, jangan terburu-buru! Sebab bukan seperti itu caranya, akan tetapi hendaklah engkau teguhkan ia di atas ketaatan terlebih dulu, engkau luruskan dan engkau tuntun tangannya hingga timbul kepercayaan dirinya dan setelah itu ia dapat kembali ke daerahnya sebagai da'i kepada agama Allahsh shallallahu 'alaihi wasallam ./
Kamis, 02 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar